
Jakarta – Kepala Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menyikapi kasus penangkapan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS terkait unggahan meme yang menampilkan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo dalam pose berciuman. Hasan Nasbi berpandangan bahwa mahasiswi tersebut sebaiknya lebih diutamakan untuk dibina daripada langsung dikenai sanksi hukum.
Pernyataan Hasan Nasbi ini muncul setelah SSS ditangkap oleh Bareskrim Polri dan ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan pelanggaran undang-undang, kemungkinan besar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meme yang dibuat dan diunggah oleh SSS tersebut memang menuai beragam reaksi di masyarakat.
Hasan Nasbi menjelaskan bahwa dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, ekspresi publik bisa beragam, dan terkadang ada individu yang mungkin mengekspresikannya dengan cara yang dianggap “terlalu bersemangat”. Namun, menurutnya, pendekatan pembinaan seringkali lebih tepat, terutama bagi kalangan muda seperti mahasiswa, kecuali jika memang perbuatan tersebut secara jelas melanggar hukum.
Meskipun demikian, Hasan Nasbi juga menegaskan bahwa jika memang terdapat aspek hukum pidana dalam perbuatan mahasiswi tersebut, maka proses hukum harus diserahkan kepada aparat penegak hukum. “Ya, kecuali ada soal hukumnya, kalau soal hukumnya kita serahkan saja itu kepada penegak hukum,” lanjutnya.
Kasus ini sendiri berawal dari unggahan meme di media sosial yang menampilkan rekayasa foto wajah Prabowo dan Jokowi dalam pose tidak pantas. Unggahan tersebut dengan cepat menjadi viral dan menimbulkan perdebatan mengenai batas antara kebebasan berekspresi dan potensi pelanggaran hukum, khususnya terkait dengan pencemaran nama baik atau penyebaran informasi yang menimbulkan keonaran.
Pihak ITB telah membenarkan bahwa SSS adalah salah satu mahasiswinya dan menyatakan akan memberikan pendampingan hukum serta dukungan psikologis bagi yang bersangkutan. Orang tua SSS juga dilaporkan telah mendatangi pihak ITB dan menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan putri mereka.
Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap mahasiswi ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, termasuk aktivis hak asasi manusia yang menyuarakan kekhawatiran mengenai penerapan pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir dan berpotensi membungkam kritik atau ekspresi satir.
Di sisi lain, pihak yang melaporkan atau mendukung proses hukum berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tetap memiliki batas dan tidak boleh melanggar norma kesusilaan serta berpotensi merugikan kehormatan individu, dalam hal ini Presiden dan Presiden terpilih.
Saran Hasan Nasbi untuk mengedepankan pembinaan dalam kasus ini mencerminkan pendekatan yang lebih edukatif, dengan harapan mahasiswi tersebut dapat memahami batasan dalam berekspresi di ruang publik dan menggunakan media sosial secara lebih bijak di masa depan. Namun, penegakan hukum tetap berjalan sesuai dengan laporan yang masuk dan temuan penyidik.
Publik kini menantikan bagaimana proses hukum selanjutnya akan berjalan dan seperti apa keputusan akhir terkait kasus ini. Kasus mahasiswi ITB ini kembali memunculkan diskusi penting mengenai keseimbangan antara jaminan kebebasan berekspresi di era digital dan upaya untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan tersebut yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan pihak lain.